Halaman

Tentang

Di sini saya akan menulis mengenai kearifan lokal Minang yang mungkin tidak banyak orang tau. Kebijaksanaan Minangkabau akan saya kupas hingga terlihat isi tanpa penutup lagi. Hal yang saya akan paling kupas adalah terkait “raso jo pareso”. Karena prinsip hidup inilah yang paling sangat terlihat dalam kehidupan orang Minang. Nilai-nilai kehidupan lain dari ranah Minang akan saya bagikan juga sebagai pelengkap. Tapi tak ada yang lebih cetar membahana daripada raso jo pareso. Dalam blog ini saya akan tulis kisah-kisah nyata terkait raso jo pareso yang saya alami sendiri. 

Raso jo pareso adalah frase Minang tentang kebijaksanaan dalam berhubungan dan berinteraksi dengan orang lain. Secara harfiah itu berarti “rasa dan periksa”. Rasa di sini adalah perasaan, bukan rasa pengecap. Raso jo pareso bermakna kita menggunakan perasaan dan dengan berhati-hati kita memeriksa/mencari tau apakah lawan bicara kita tersinggung atau tidak, pantaskah kata-kata yang kita keluarkan? Itu semua diatur oleh prinsip raso jo pareso ini jika kita menerapkannya dalam diri. 

Frase ini lahir di Minangkabau dan ini terpatri dalam diri orang Minang. Tak heran orang Minang mampu berbaur di mana pun mereka berada. Frase ini termasuk ke dalam salah satu pepatah-petitih orang Minang di antara pepatah-petitih lainnya yang sangat cetar membahana. Selain berpepatah, orang Minang juga terkenal denga kemampuannya berpantun dan berkias, termasuk juga berkilah. 

Seperti yang ditulis di situs Minang cimbuak.net, situs yang secara nama sangat mempesona dan terdengar minang banget, dalam artikelnya mengenai raso jo pareso disebutkan 
"Intisari dari adat adalah "Raso jo Pareso" Rasa takut kepada Allah, Rasa malu dan sopan terhadap sesama manusia, segan menyegani, tenggang rasa dan saling menghargai diantara sesama anggota masyarakat. Dari rasa malu timbul rasa sopan.” 

Beginilah syair raso jo pareso itu:
Raso bao naiak 
Pareso bao turun 
Tarimolah raso dari lua 
Pareso bana raso kadalam 
Antah iyo antah indak. 

Terjemahannya: 
Rasa dibawa naik 
Periksa dibawa turun 
Terimalah rasa dari luar 
Periksalah benar-benar rasa ke dalam 
Entah iya atau tidak 

Berdasarkan prinsip ini, orang Minang menjadi punya pedoman dalam bertindak. Mereka betul-betul berhati-hati dalam bersosialisasi seperti yang ditulis di situs cimbuak.net (sekali lagi yang namanya sangat minang dan cetar mempesona): 
“Begitu pentingnyo raso jo pareso, maka adat Minangkabau menuntun masyarakatnya untuk menanam raso malu dengan raso sopan. Raso takut terhadap Allah SWT raso malu terhadap sesama manusia, malu antara lelaki dan perempuan, malu antaro sumando dengan mamak rumah, malu antara mertua dan menantu, malu berbuat sumbang salah, malu melanggar aturan adat, malu melihat kalau ada tetangga merintih kelaparan, malu berbuat tidak sopan, malu kalau kalau hati orang lain terluka, malu kalau kalau terambil hak orang lain dan lain sebagainya. Bahkan raso malu dikaitkan dengan harta benda, Harta dapat dibagi tapi malu tidak dapat dibagi. Bagi mereka yang tidak memakaikan raso jo pareso dan malu jo sopan disebut dengan yang tidak tahu di nan ampek, indak tau diatah takunyah, indak tau disuduik kancah.” 

Kehati-hatian dalam bertindak itulah yang membuat orang Minang mudah bersosialisasi dan berbaur dengan orang dari latar belakang apa pun, sehingga orang Minang tidak asing dengan kata-kata: PANTEK, KANCIANG, AMAK ANG DEANG, CIRIK, BALA, DEN PIJAK LIHIA ANG, DEN PACAHAN KAPALO ANG, DEN AMPEHAN KAPALO ANG, INDAK BAUTAK ANG MAH, ANJIANG, DEN LADO MUNCUANG ANG. 

Selain itu, orang Minang tidak mengerti dengan prinsip antri. Di mana-mana di ranah Minang baik itu tempat elit atau tempat rakyat orang enggan berantri. Antrian harus dahulu-mendahului. Merugilah jika Anda tidak berwajah sangar dan berbadan besar karena urang bagak (jagoan) akan datang dan memotong antrian Anda. Jangan sesekali menegur, karena mereka akan mambulalang (mem-bully orang lain dengan tatapan) sambil bilang, “Hoh, baako aden ang atur atur?”. Sungguh tenggang rasa, rasa malu, segan-menyegani, dan rasa sopan benar-benar dipakai. 

Mereka juga tidak segan-segan meneriaki orang lain dengan nada yang sangat menyerang entah itu karena mereka kesal dengan orang tersebut atau cuma kesal tak beralasan. Yang terakhir berguna untuk memperlihatkan kejagoannya. Bahkan anak kecil meneriaki orang Dewasa itu biasa terjadi. Rasa tersinggung yang kita rasakan akan sangat besar. Begitulah raso jo pareso yang mereka tanamkan. 

Tipu-menipu adalah hal yang biasa terjadi, begitu juga dengan khianat-mengkhianati. Jika kita tidak benar-benar dengan cermat memperhatikan gerak-gerik mereka dalam berinteraksi, hati-hati, barang-barang Anda akan hilang dipakai seenaknya, dikembalikan seenaknya, dan bahkan tidak dikembalikan. “Jo kawan surang pilik bana waang tu. Den baka barang-barang ang tu ko”. Begitulah tanggapan mereka jika dikomplain. Berhati-hatilah curhat atau menceritakan rahasia ke orang yang Anda anggap teman di sana. Sangat mungkin rahasia Anda diceritakan ke orang lain dan ditambah embel-embel untuk membuat diri Anda terlihat sangat jelek, menyedihkan, dan memalukan. Karena jiwa sosialisasi mereka yang tinggi, pangecek (suka berbicara), paota (banyak omong/pembohong/pembual). Inilah contoh rasa takut kepada Allah SWT.

Begitulah penerapan prinsip raso jo pareso dalam diri orang Minang.

9 komentar:

  1. Raso jo paresoko paralu disosialisasikan ka nan mudo mudo malalui pado kesempatan apopun pado keseMpatan khotbah jumat pun jadi, kini iko alah jauh bana ditangah tangah masyarakat kito, maaf ambo jikok tasinggung was

    BalasHapus
  2. Ini menyindir atau cemooh. . . Tlong bahasa kamu di perbaiki lgi, klo gk bisa nulis. Ngk usah nulis

    BalasHapus
  3. Ga semua org minang tidak tau dgn budaya antri, itu kembali pada individu setiap org

    BalasHapus
  4. Tarimokasih wejangannyo sungguah bermanfaat

    BalasHapus
  5. Bagi koto nan mambaco ambiak nan eloknyo buang sajo nan buruaknyo nan kurang kito pahami

    BalasHapus
  6. Diawal nya meninggikan, diakhir kesannya menjelekkan orang Minang. Terkesan stereotip, karena beberapa orang yg bertindak demikian seperti yg ditulis tapi seperti di San ratakan semua orang Minang begitu..

    BalasHapus
  7. Sedih saya membacanya, orang minang dibilang "tidak tahu budaya antri".
    Saya kira yang menulis ini perlu diberi pencerahan agar tidak gagal paham.

    BalasHapus